Tuesday, December 31, 2013

PENDIDIK SENI BUDAYA DALAM MENYIKAPI PROGRESIVITAS KEBUDAYAAN GLOBAL


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


OPINI
Abah Nandi Wirawiri
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar telah membawa dampak perubahan hampir di semua aspek kehidupan manusia. Kondisi ini menghantarkan pada kesadaran berbagai lapisan masyarakat dalam usaha-usaha untuk memacu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimensi persoalan sumber daya manusia pada dasa warsa terakhir ini muncul sebagai salah satu isue yang telah mewarnai problematika pembangunan dan pengembangan pendidikan nasional kita. Seolah-olah mempertanyakan kembali tujuan pendidikan yang dinilai kurang berorientasi pada realita progresivitas kebudayaan dunia (global culture).

Salah satu prinsip dasar dalam mengembangkan mutu pendidikan dasar dan menengah (merujuk pada penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) adalah tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kalau kita serius memahami prinsip dasar ini sangat memberi peluang kepada setiap pendidik/guru –termasuk para pendidik seni budaya– dan sekolah untuk menyusun dan menjabarkan sendiri kurikulum secara luas, serta berbagai metode dan strategi dalam rangka mengimplementasikan prinsip dasar tersebut. Dalam perkembangan situasi jaman pada saat ini sudah selayaknya para pendidik seni budaya senantiasa aktif dan cermat mengembangkan model/metode pembelajaran yang merupakan sebuah tantangan tersendiri apabila disikapi dengan cara pandang holistik dan komperhensif.

Sikap yang paling “sederhana” setidak-tidaknya para pendidik seni budaya dituntut memiliki keinginan dalam merespon perkembangan global culture dimana domain pendidikan seni budaya lebih menitik beratkan pada tumbuh kembangnya sikap kritis terhadap setiap fenomena budaya yang muncul. Lebih jauh tentunya kita menginginkan peserta didik memiliki kemampuan dalam memanfaatkan pengetahuannya, pengalamannya, dan bakatnya secara kreatif melalui berbagai kegiatan/keterampilan seni budaya untuk melestarikan dan menjungjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa yang semakin nampak tergerus oleh realita perkembangan zaman.

Menumbuhkan sikap kritis di pusaran arus globalisasi

Dunia yang kita pijak saat ini bukan lagi sebuah domain “budaya manusia” maha luas yang terdapat dalam lingkaran bumi, tetapi dunia saat ini sudah menjadi sebuah wilayah amat sempit, wilayah yang berada dalam genggaman teknologi. Perkembangan kebudayaan dunia yang sangat cepat telah mampu mempengaruhi kemampuan sebagian besar manusia (masyarakat) dalam berinteraksi dengan beragam produk ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk kemudian menginkoroporasikannya ke dalam budayanya sendiri. Hadirnya perangkat-perangkat (instrumen) berteknologi canggih (high technology) untuk mempermudah akselerasi komunikasi dan mengakses segala jenis informasi sedunia, merupakan salah satu contoh terjadinya perkembangan kebudayaan manusia di bidang informasi-komunikasi global. Fungsi dari perangkat teknologi yang terkait secara langsung dengan kemajuan sistem dan pengembangan informasi dan komunikasi tersebut, menjadi tolok ukur kebangkitan media-media massa (elektronik dan non elektronik) dalam menjelajahi dunia.

Perkembangan media global di tengah-tengah kehidupan umat manusia dewasa ini telah mengarahkan pada berbagai pilihan untuk mendapatkan kepuasan, pengalaman imajinatif, dan eksistensi ekspresitas. Kita menyadari bahwa sebagian besar motivasi media global sesungguhnya tertuju pada pembentukan masyarakat dunia yang terlegitimasi oleh nilai-nilai materialistis, hedonistis, scientis. Selain itu media global mampu mengubah atau memperkuat selera masyarakat internasional yang lebih mengedepankan pemenuhan situasi budaya massa (mass culture) seperti hiburan, propaganda, komersial, politik, dan sebagainya.

Menumbuhkan sikap kritis terhadap perkembangan kebudayaan dunia salah satunya adalah kita benar-benar terlibat dan menarik manfaat dari banjir informasi. Memilih dan menyeleksi berbagai pengetahuan kemudian memberi makna pada sesuatu yang sedang terjadi, dan mengambil manfaat dari berbagai pencerapan pengetahuan tersebut, secara tidak langsung akan menggiring kita menjadi pribadi-pribadi yang kritis tanggap terhadap berbagai fenomena budaya di sekitar kita.

Dalam perspektif perkembangan dunia tersebut -dengan segala produk-produk globalisasinya tentunya-, sikap kritis kita sebagai pendidik seni budaya dirahkan dalam memacu peningkatan pemahaman dan wawasan yang lebih prospektif. Pertama, bagaimana kita mampu melihat peluang dalam usaha mengembangkan model/metode pembelajaran seni dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang isue-isue yang menarik seputar seni budaya dan perkembangan teknologi kekaryaan seni; Kedua, tidak memandang lagi bahwa seni budaya sebagai pengetahuan “kaku/beku/baku” yang tidak bisa dikorelasikan dengan ilmu pengetahuan lain; Ketiga, memulai menempatkan seni budaya sebagai raw material untuk pendidikan kebangsaan, pendidikan mental/self confidence, character building, humanisme, bahkan pendidikan entrepreneur.

Merubah stigma

Keprihatinan saya –meskipun bukan merupakan gejala umum– sering muncul tatkala melihat eksisitensi pendidikan seni budaya di sebagian sekolah-sekolah dasar dan menengah diibaratkan bagaikan “anak tiri” yang kurang mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak penyelenggara pendidikan. Kesan “mendompleng” dan hanya sebagai bagian alakadarnya dari beragam mata pelajaran di sekolah merupakan hal yang sudah lumrah diperlihatkan. Apalagi tidak sedikit adanya guru-guru non pendidikan seni diberi tugas sebagai pengajar seni budaya yang lantas menjadikan problem tersendiri dalam usaha-usaha merepresentasikan pendidikan seni budaya yang sejatinya.

Setidak-tidaknya apa yang saya amati tersebut melandasi sebuah pemikiran tentang bagaimana selama ini para penyelenggara pendidikan dasar dan menengah, mungkin juga para pendidik seni budaya, masih memahami bahwa mata pelajaran seni budaya terkolekifkan sebagai mata pelajaran tambahan yang tidak bisa disejajarkan dengan mata pelajaran-mata pelajaaran lainnya, sehingga kapasitas dan frekuensinya masih amat sedikit. Kedudukan seni budaya masih sulit ditempatkan sebagai bahan dasar (raw material) pemberdayaan intelktual dan potensi kreatifitas peserta didik. Ungkapan yang kerap terdengar, pendikan seni budaya hanya sebatas wadah untuk menampung bakat-bakat peserta didik yang terpendam. Padahal harapan akan model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segala kemampuan peserta didik menuju proses berfikir yang “bebas”, kreatif, dan inovatif sudah tegas-tegas menjadi misi dan visi pendidikan nasional kita.

Berani merubah/meluruskan stigma minor, itulah kuncinya. Bagi para pendidik seni budaya tentunya hal ini tidak mudah tanpa membekali diri dengan pemahaman tentang wawasan seni budaya yang bersifat universal. Pendidikan seni budaya harus dipahami sebagai nilai-nilai dasar ilmu pengetahuan melalui presentasi keterampilan yang bersifat teknis-praksis, teoritis, psikologis, yang benar-benar memerlukan tindakan dan keberanian kreatif (creative courage). Dari sisi yang lain, peningkatan kualitas model dialogis dan edukasi secara cerdas akan mampu menerangkan/memberi pengertian yang tepat. Perlu dipahami kita bersama bahwa kebanyakan model proses edukasi seni budaya yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah dasar dan menengah masih bergerak sebatas edukasi kepelatihan yang teramat kaku dan baku. Model seperti ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan konsep edukasi behavioral yang lebih menekankan kaidah fleksibelitas, responsif, aktif dan kreatif. Sehingga sudah selayaknya dalam kondisi saat ini para pendidik seni budaya dituntut harus sudah memulai mereinterpretasi, meredefinisi paradigma pengajaran, sekaligus mengkoreksi atau merubah model-model pembelajaran seni budaya yang lebih mengedepan.

Progresif dalam memperbaharui wawasan keterampilan

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pendidik/guru kesenian di sebuah Sekolah Dasar. Dalam pertemuan tersebut tejadi perbincangan yang bagi saya amat menarik. Ia mengatakan kepada saya bahwa dalam mengajar, kadang-kadang ia merasa amat bosan. Selain itu ia merasa amat kesulitan dalam menentukan pilihan setiap kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan peningkatan prestasi seni anak didik, semisal pentas seni pada ajang perlombaan dan lain-lain.

Sebagai seorang pendidik kesenian di bidang seni musik, ia berpandangan bahwa keterbatasan sarana alat atau media yang tersedia di sekolah tempat ia bertugas merupakan factor penyebabnya. Tanpa adanya media bantu atau alat yang memadai akan sulit mengaplikasikan keterampilan yang akan diajarkan pada anak-anak didiknya. Sehingga sebagai alternatif, setiap memberi pelajaran praktek hanya di isi dengan latihan menyanyi saja. Kemudian saya bertanya tentang apa yang dimaksud dengan keterbatasan sarana atau alat yang dibutuhkan tersebut, sehingga menyebabkan ia kurang maksimal dalam memberi materi pelajaran praktek. Saya mendapatkan jawaban yang menurut saya tidak sesederhana pertanyaannya. Dalam pemikirannya, pengajaran keterampilan seni musik tidak bisa lepas dari kewajiban menggunakan media bantu berstandar. Menurutnya, kalau belajar tentang musik setidak-tidaknya anak didik dikenalkan untuk belajar praktek memainkan/menggunakan alat musik semisal suling diatonic, drum set, guitar, seperangkat gamelan, dan lain-lain.

Apa yang dikemukakan teman saya tersebut memang ada benarnya. Namun dari persoalan ini saya melihat ada sebuah masalah krusial yang patut kita pikirkan bersama terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pendidik seni budaya. Kemudian kepada teman saya tersebut saya mencoba memberi pengertian agar ia mencoba lebih lebar dalam mengepakan sayap pemahamannya. Bukankah musik itu bersifat universal dan memiliki cakupan yang amat luas?. Sebaiknya memberi pelajaran keterampilan musik adalah secara substantif bagaimana kita mampu mengenalkan anak didik tentang penerapan unsur-unsur musikal. Instrumen atau alat hanyalah sebatas media bantu. Wujud penerapannya tidak terbatas pada media pokok berstandar. Alhasil berbagai alat apa saja bisa digunakan sebagai media bantu alternatif, dan hal demikian justru akan memacu daya kreativitas peserta didik.
Faktor keengganan/kebekuan dalam memperbaharui wawasan keterampilan bagi sebagian para pendidik seni budaya masih merupakan kendala personal yang masih sering mengemuka. Disadari atau tidak, kemapanan dalam menguasai wawasan keterampilan yang bersifat praktis, dialogis, maupun psikologis, merupakan tolak ukur pengejawantahan profesionalisme yang siap melihat jaman. Artinya seorang pendidik seni harus siap dan mampu melihat lebih jauh ke depan akan prospek keahlian/keterampilan yang diajarkan kepada peserta didik. Sehingga dalam mengajarkan keahlian tidak bersifat stagnan/pasif berkutat pada pemahaman keterampilan praksis “pada umumnya” semata.

Tiga unsur penting yang menurut saya perlu dimiliki oleh para pendidik seni budaya sebagai modal dasar dalam proses pengajaran keterampilan yang mengedepan adalah: pertama, memiliki sense of visual art yaitu siap tanggap/merasakan/peka terhadap berbagai munculnya berbagai gejala visual/citra estetik. Kedua, memiliki sense of auditorial art yaitu siap tanggap terhadap munculnya berbagai gejala audio meliput segala jenis dinamika suara/bunyi, pitch/pola titi nada, ritme/irama, dan lain-lain yang terkait. Ketiga, memiliki sense of kinesthetic yaitu siap tanggap terhadap munculnya berbagai jenis gerak material, aktivitas ragawi/tubuh, emosi, koordinasi, dan sebagainya.

Kepemilikan modalitas ketiga unsur sensibility tersebut di atas memberi peluang yang tidak terbatas bagi tindak laku pendidik seni budaya untuk mengembangkan dan menemukan ide-ide kreatif pengajaran keterampilan seni yang lebih prospektif dan bernilai. Bukankah kita sepakat bahwa tantangan masa depan dengan perkembangan masyarakat dan dunia yang semakin kompleks berimbas pada kebutuhan akan sebuah proses pembelajaran keterampilan yang kreatif, relevan, dan kompleks pula. Seorang pendidik seni budaya yang kreatif adalah seorang eksplorator, lebih mencari esensialitas daripada rutinitas, tidak linier dan lateral dalam proses berpikir melihat sebuah kebenaran, dan yang terpenting selalu progresif dalam memperbaharui wawasan keterampilan.

SEMOGA BERMANFAAT.
Sukoharjo, di akhir tahun 2013.
Salam budaya.

15 comments:

  1. Menarik Om sebetulnya belajar tentang seni budaya, apalagi melihat orang-orang seperti Om yang kreatif dalam kegiatan seni.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih,,, iya, semua ilmu itu pasti menarik pak kalau dipelajari secara mendalam. Kami juga masih belajar. :)

      Delete
    2. Good Entry gan, kita sebagai manusia harus bisa mebudayakan budaya yang sudah melekat dalam lingkungan kita masing2.. Acapkali pendidikan, agama, atau masuknya budaya barat seringkali melunturkan budaya asli kita, sebagai manusia yang bijaksana kita harus bisa memilah-milah, ambil sisi positifnya.. Dan jangan ragu kita menjadi budayawan dari semua karya seni yang kita lahirkan sendiri....

      Delete
    3. Sip Bu, bener banget.. Akulturasi budaya tidak menjadi masalah, yang terpenting jangan sampai filosofi budaya sendirinya luntur/hilang....

      Delete
    4. Sangat pandai sekali Mas Abdul ini
      sangat bijak dan bisa jadi juru pendidik nantinya Mas

      Delete
    5. Hehehe, Terimakasih pak, insyaallah tentunya :)

      Delete
  2. Selamat malam salam kenal Mas Abdul ijin simak artikel tentang
    Seni dan Budaya Mas Abdul. kreatif dan sangat mendidikterima kasih :)
    http://karristaent.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. betul,,,,betul...betul....ketiadaan sarana tidaklah harus menajdi persoalan/ masalah yang menyababkan seorang pendidik merasa kebingungan dalam memberikan materi . yang penting bagaimana menjadikan motivasi kepada peserta didik untuk kreatif........ salam untuk penulis......

    ReplyDelete
  4. Baru mengetahuinya setelah sekian lama (tulisan tahun 2013) bahwa tulisan saya dimuat di blog ini. semoga sumbangan pemikiran ini bermanfaat. terimakasih untuk admin.

    ReplyDelete